Titik dalam Paragraf
Prolog
Ia yakin, didikan karakter pada anaknya
akan berhasil.
Bukan hanya perihal kesuksesan,
namun bagaimana anaknya kelak
akan mampu bertahan dalam arus jaman yang semakin jahat.
Prinsip tak akan
pernah lepas bagi orang-orang yang peduli dengan karakter.
“Brukh!”
“Brukh!”
Barang-barang
Ibu Siami sedikit demi sedikit habis terlempar ke luar rumah. Kemarahan besar terjadi
di sana-sini. Mereka yang bermuka merah padam tak mampu lagi menahan emosi yang
sudah di ujung tanduk. Pelbagai macam perkataan keluar dari mulut
masing-masing, menghujat batin.
Alif menggenggam kuat tangan ibunya.
Terus digenggam sambil menangis sesenggukkan. Tubuh kecilnya tak mau lepas dari
dekapan. Jantung berdegup kencang menyaksikan kejadian yang belum pantas
disaksikan seusianya. Pikiran pun belum mampu menjangkau jalan keluar dari
permasalahan ini.
Sungguh ironis, kejujuran Ibu Siami
justru membawa malapetaka. Mau tidak mau, ia harus sudi meninggalkan kampung
yang selama ini ia tinggali. Berawal dari pengaduan Alif, ketidakjujuran mulai
terbongkar.
Seorang guru di tempat Alif belajar
dimutasikan karena persoalan yang dianggap wajar oleh kebanyakan orang. Ia
menyuruh Alif memberikan jawaban ujian kepada teman-temannya. Bu Siami, seorang
yang peduli dengan karakter, tak rela anaknya dididik dengan ajaran yang sama
sekali tak pernah ia terapkan pada siapa pun.
Percaya atau tidak, orang-orang di
negeri ini sudah terlalu banyak terkontaminasi karakter buruk. Bakat-bakat
ketidakjujuran perlahan merusak persepsi generasi. Bahkan sampai detik ini pun
telah menjadikan presentase korupsi naik peringkat.
“Cukup! Saya akan segera pergi dari
sini!” Bu Siami membuka mulut.
“Hanya karena urusan sepele jadi
diusir orang sekampung. Saya sih ogah!
Makanya Bu, jadi orang jangan sombong!” celoteh seorang wanita nampak sinis.
Warga
menimpali perkataan yang tidak pantas untuk didengar. Bu Siami buru-buru membenahi
barang-barangnya dan menggandeng tangan Alif untuk kemudian pergi.
Kegigihan mempertahankan prinsip
menjadi bekal menghadapi arus kehidupan. Siapa pun terkadang berani mengambil
risiko, tapi tanpa prinsip… Nol!
Indonesia raya boleh saja
diperdengarkan. Merah putih dengan suka cita dikibarkan. Namun, mau dikemanakan
karakter bangsa bila orang-orang di dalamnya tak pernah mendukung prinsip
kebenaran.
Sudah
banyak televisi yang menayangkan berita kriminal. Pencurian, penculikan,
korupsi, maupun hal-hal yang sulit dipercaya sekalipun. Bahkan menyontek tak
jauh berbeda jahatnya dengan korupsi. Bangsa ini tak akan sembuh dari penyakit
yang bersumber dari virus-virus pikiran dan batinnya sendiri. Dimana kejujuran
semakin menipis, kejahatan apa pun akan pesat berkembang.
Bu
Siami tak pernah menyesal dengan perbuatan yang memang seharusnya dilakukan. Pembongkaran
penyontekan masal telah membuka harapan bahwa kejujuran masih ada meski jarang
sekali ditemukan. Sebuah titik sangat dibutuhkan dalam susunan kalimat, walaupun
keberadaannya sering diabaikan karena berbeda jenis dan kecil terlihat.
Ketika
Alif beranjak dewasa, ia mulai mampu menelaah garis takdir hidupnya di masa
silam. Diusirnya dari kampung dulu
adalah isyarat Tuhan agar ia bermigrasi ke tempat yang mampu membuat dirinya
berkembang dari segi akal dan karakter. Didikan ibunya telah diturunkan pada
anaknya sendiri.
Meski
usia Bu Siami akan semakin renta, namun prinsipnya tak akan senja dimakan
waktu. Kejujuran, satu jalan yang mengantarkan kita pada kebenaran dan
kebaikan. Suatu jalan pula mendapat pahala Tuhan yang kelak akan
dipertimbangkan untuk tiket masuk menuju alam keabadian yang penuh kebahagiaan.
Epilog
Beginilah
pesan Bu Siami yang kini dikenal masyarakat:
“Menyontek
perbuatan tidak jujur
Korupsi
perbuatan menyeleweng
Menyontek
sama dengan korupsi
Menyontek
sama-sama perbuatan tidak jujur yang menyeleweng.”
|Widya Arum
setelah bersih-bersih kandang,
bersyukur gak nemuin bangkai cicak serta merta sarang laba sekalipun.
Comments
Post a Comment