Posts

Pada Tuan

Pada Tuan Nona menaruh hati Diam-diam tanpa Tuan mengerti Siapakah Tuan, Nona yang kau cari? Tentu bukan Nona yang selama ini mencintai Tuan, sekiranya Nona mulai berprasangka Nona dambaan yang Tuan selalu puja Tuan tak berhati membiarkan lara Nona kesepian ingin Tuan peka Nona dulu gembira Tuan belikan dua pasang sepatu serupa ‘tuk dipakai bersama Tapi nampaknya kini Tuan lupa Ketukan musik cerita klasik telah rusak berantakan karena suatu masa Tuan, Nona rela bila Nona tak bertuan Tapi Nona tak rela jika Tuan menjadi milik Nona yang berlain Tuhan Biarlah cinta Nona sebatas asa dan tak pernah jua tersampaikan Asal, setidaknya Tuan tahu Nona pernah memberi rasa tanpa mengemis perasaan | Widya Arum enam belas Maret silam (tulisan pada masa itu) 

Titik dalam Paragraf

Prolog Ia yakin, didikan karakter pada anaknya akan berhasil. Bukan hanya perihal kesuksesan, namun bagaimana anaknya kelak akan mampu bertahan dalam arus jaman yang semakin jahat. Prinsip tak akan pernah lepas bagi orang-orang yang peduli dengan karakter. “Brukh!”             “Brukh!” Barang-barang Ibu Siami sedikit demi sedikit habis terlempar ke luar rumah. Kemarahan besar terjadi di sana-sini. Mereka yang bermuka merah padam tak mampu lagi menahan emosi yang sudah di ujung tanduk. Pelbagai macam perkataan keluar dari mulut masing-masing, menghujat batin.            A lif menggenggam kuat tangan ibunya. Terus digenggam sambil menangis sesenggukkan. Tubuh kecilnya tak mau lepas dari dekapan. Jantung berdegup kencang menyaksikan kejadian yang belum pantas disaksikan seusianya. Pikiran pun belum mampu menjangkau jalan keluar dari permasalahan ini.            Sungguh ironis, kejujuran Ibu Siami justru membawa malapetaka. Mau tidak mau, ia harus sudi meni

Diam

Bila rindu makin kelabu entah aku harus bagaimana walau menit telah beribu Pada senja dan ratu purnama kuingin lontarkan suara hati agar sosok nama di sana mengerti Bahwa seharusnya aku tak usah kecewa karena di sana ada Sang Agung yang selalu menjaga Dan segala menjadi tenang meski batin ini telanjur diam |Widya Arum

Selain Aku

Untuk seseorang, yang rindunya tak pernah kubalas Secerca kata kau tulis Dalam sebuah pesan singkat Tanpa identitas Tak secuilpun kuketahui Lantas kubiarkan Hingga lelah sendiri Tapi, tak kuduga Kau lagi ada Semangatmu lebih berbobot Dibandingkan kasih lamamu Yang senantiasa Tak peduli Maafkan diri ini yang tak pernah bisa berkata "iya" Perjuangkanlah lebih dari ini Sampai kau temukan yang sesungguhnya Kan kusampaikan pula pada Tuhan Agar kau temukan jawaban.. Selain aku... {} |Widya Arum 

Pergi

Dukaku tak kunjung berhenti ketika kutahu kau lepas rangkul itu janji yang telah terucap kandas. Dan aku terluka sepenuhnya Kau pergi tuk selamanya menemui Tuhan di alam yang berbeda Tak kembali Tak pernah kembali Takdir kita dipertemukan untuk berpisah tiada yang dapat mengubah Bibir tak mungkin mencela Ini jalan kita Kurelakan dengan sejuta asa yang takkan tercipta |Widya Arum

Bukan Kita

Aku dan kamu layaknya insan yang tak pernah mengenal Aku dan kamu seperti bunga setangkai yang telah layu mati rasa sudah    Daun-daun tak berhenti bertanya    "Ada apa dengan dua manusia ini?"    Wajah yang tak mau mengalah    Bibir yang membisu    Tatap mata yang tak mau bicara    Aku dan kamu    seperti sepasang musuh yang memadu kasih. |Widya Arum berteduh dan diam.

Demikian pun Aku

Adakah kau tahu? tentang kenangan yang telah kau tinggalkan Empat tahun lamanya rasa rindu tak terbalaskan sangat berat kurasakan terobati saat kutahu Kau kembali.             Kau ciptakan suasana baru menaruh hati pada yang mau menerima: aku Tuhan menganugerahkan padamu, mungkin dan semoga untukku. Tak siap, kuberlari sekuat hati Lemah kurasa Gejolak hati yang belum pernah ada Terlalu deras menembus rasa Aku tak bisa Aku tak bisa mencabut panah ini             Antara aku dan kau rasa ini tak kunjung hilang. Dan kau pergi lagi             meninggalkan rasa yang tak mungkin kuakui Saat kusadar kau tak menetap di sini. Dan masih tak kumengerti apakah rasa ini pun demikian Jika aku diciptakan dari rusukmu Semoga rasa ini Akan tetap setia menetap dan berdiam diri di hati menantimu sampai kau kembali lagi. |Widya Arum Angan cerpen Karena Hujan Dan Ulang Tahun : buah pikir yang dulu.